Mencapai kesadaran tertinggi
Mengenal diri sejati

Berdiri tahun 2012, Bumi Dega Sunda Academy menjadi ruang ajar dalam memperjuangkan nilai kearifan lokal yang memuat ajaran kemanusiaan, kenegaraan dan kebumian dengan dijiwai oleh kedalaman spiritual dan semangat kebangsaan.

#Tentang

Sekilas tentang kami

Bumi Dega Sunda Academy hadir sebagai ruang pembelajaran yang mengangkat dan memperjuangkan nilai-nilai kearifan lokal. Kami membawa ajaran tentang kemanusiaan, kebangsaan, dan kebumian, yang dipadukan dengan kedalaman spiritual serta semangat untuk memperkuat jati diri bangsa. Melalui pendekatan pendidikan dan pelatihan yang relevan, kami berkomitmen membangun manusia yang utuh—berakar pada budaya, berpijak pada bumi, dan terbuka pada perkembangan zaman.

Tiga Pilar Dharma Kami

  • Dharma Wangsa Nagara

    Menumbuhkan dan memperkokoh kesadaran akan nilai kebangsaan dan kenegaraan, demi persatuan yang kokoh dan berdaulat.

  • Dharma Bakti Pertiwi

    Berkarya dan berdaya untuk memberikan manfaat nyata bagi masyarakat luas, melalui aksi dan kontribusi yang membumi.

  • Dharma Husada

    Menghadirkan program-program yang berdampak positif bagi seluruh makhluk hidup, sejalan dengan nilai kehidupan yang selaras dan harmonis.

#Program

Kegiatan dan Program

Sejak didirikan, Bumi Dega Sunda Academy berkomitmen membangun ruang kolaboratif yang dilandasi nilai-nilai kemanusiaan, kebangsaan, dan kebumian. Melalui berbagai program, kami menjalin persaudaraan lintas latar, mengembangkan ilmu pengetahuan yang selaras dengan kearifan lokal, melestarikan budaya dan tradisi sebagai jati diri bangsa, memperkuat nilai kebangsaan dan kenegaraan, serta merawat alam sebagai sumber kehidupan yang harus dijaga bersama.

content

Ilmu Pengetahuan

Bumi Dega Sunda Academy menghadirkan program-program edukatif yang membuka ruang eksplorasi dan pengembangan ilmu pengetahuan secara holistik. Dengan pendekatan yang kontekstual dan inovatif, peserta diajak untuk memperluas wawasan serta memperdalam pemahaman mereka terhadap beragam disiplin ilmu yang berpijak pada nilai-nilai lokal dan relevansi global.

content

Budaya dan Tradisi

Sebagai bagian dari upaya merawat jati diri bangsa, Bumi Dega Sunda Academy berkomitmen untuk melestarikan serta menghidupkan kembali kekayaan budaya dan tradisi Nusantara. Melalui berbagai kegiatan inspiratif, peserta diajak menjelajahi makna, keindahan, dan kearifan budaya Sunda, sekaligus memperkaya pemahaman terhadap keberagaman budaya Indonesia secara menyeluruh.

content

Spiritual

Dalam upaya menggali nilai-nilai kearifan lokal, aspek spiritual menjadi elemen penting dalam setiap program kami. Bumi Dega Sunda Academy menghadirkan pengalaman pembelajaran yang mendalam untuk membantu peserta mengembangkan kesadaran diri, memperkuat koneksi batin dengan alam dan sesama, serta menumbuhkan kedamaian melalui perjalanan spiritual yang autentik dan membumi.

Jig geura narindak!
Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!
Ngadegkeun deui Pajajaran!
Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu ANYAR!

Uga Wangsit Siliwangi

#Artikel

Artikel Terbaru

Lihat Semua
Bangkitnya Kesadaran Sejarah: Saatnya Kembali ke Jati Diri

Bangkitnya Kesadaran Sejarah: Saatnya Kembali ke Jati Diri


Di tengah modernitas dan arus globalisasi yang kian deras, kita menghadapi risiko kehilangan jati diri. Generasi muda lebih mengenal mitologi asing dibanding sejarah leluhurnya sendiri. Nama-nama seperti Prabhu Sindhu La-Hyang, Dayang Sumbi, La-Hyang Salaka Domas terdengar asing, padahal merekalah pondasi budaya kita.

Namun zaman bergerak. Gelombang kesadaran perlahan bangkit. Sekelompok anak muda, peneliti, budayawan, dan pegiat sejarah kini mulai menggali kembali warisan leluhur. Mereka tak hanya mempelajari artefak, tapi juga menghidupkan kembali makna dan ajaran yang terkandung di dalamnya.

Gerakan ini bukan romantisme masa lalu. Ini adalah perjuangan spiritual. Sebab hanya dengan mengenal asal-usul, kita bisa menapaki masa depan dengan mantap. Bangsa tanpa sejarah adalah bangsa tanpa jiwa. Bangsa tanpa jiwa, adalah bangsa yang mudah dikuasai. Karena itu, kebangkitan sejarah bukan hanya penting, tapi genting.


Indonesia yang Sejati: Negara Jiwa, Bukan Sekadar Wilayah

Indonesia bukan hanya rentang geografis dari Sabang sampai Merauke. Indonesia adalah tubuh dari jiwa yang bernama Nusantara. Ia bukan dibentuk oleh batas peta, tapi oleh ikatan batin yang terbentuk ribuan tahun lamanya. Oleh ajaran, oleh sistem tanda, oleh makna yang diwariskan dari zaman Dirgantara, Swargantara, hingga Dwipantara.


Baca juga:
Kujang: Simbol Api, Simbol Jiwa, Simbol Negara
Merah Putih: Bukan Sekadar Warna tapi Simbol Kagungan
Sistem Tanda: Warisan Jiwa yang Kita Lupakan
Jejak Agung Sunda: Warisan Spiritualitas Leluhur


Negara yang sejati bukan yang sekadar berdiri secara administratif, tapi yang hidup dalam jiwa rakyatnya. Negara yang mampu membangkitkan semangat, menjaga martabat, dan menyatukan kehendak dalam satu visi luhur. Dan itu hanya bisa terjadi jika kita kembali menyatu dengan akar sejarah kita.

Saat Kujang dan Keris tak lagi saling melengkapi, saat Merah dan Putih tak lagi dimaknai secara spiritual, maka negara hanya akan menjadi formalitas kosong. Tapi jika makna itu dihidupkan kembali, maka Indonesia akan menjadi cahaya yang tak sekadar bersinar, tapi juga menghangatkan dunia.


Warisan untuk Anak Cucu: Menanamkan Simbol, Menumbuhkan Kesadaran

Pertanyaan terbesar yang harus kita renungkan bersama adalah: apa warisan yang akan kita tinggalkan untuk anak cucu kita? Apakah hanya gedung pencakar langit? Apakah hanya teknologi dan kenyamanan material? Ataukah kita akan mewariskan sesuatu yang lebih luhur: kesadaran, makna, dan nilai-nilai spiritual yang telah menjadi ruh bangsa ini selama ribuan tahun?

Kujang dan Keris bukan sekadar benda pusaka. Mereka adalah mantra hidup, yang hanya akan bekerja jika kita memahami dan menjalankannya. Maka tugas kita sekarang adalah menanamkan kembali kesadaran ini di hati generasi berikutnya. Tidak perlu menunggu negara, cukup mulai dari keluarga, dari lingkungan, dari diri sendiri.

Ajak anak-anak mengenal sejarah dengan cara yang membangkitkan rasa bangga, bukan trauma. Tunjukkan bahwa kita berasal dari peradaban besar, yang jauh lebih tua dan lebih luhur dari yang selama ini kita pelajari di buku teks. Dan bahwa kita punya warisan tak ternilai—jiwa bangsa, yang tak akan lekang oleh waktu.

Lanjut membaca, masih seru bahasannya. Klik disini


Apakah konten ini bermanfaat untuk pertumbuhan jiwamu? Berikan dukunganmu untuk Bumidega.   

Scan QR Code di bawah ini ya. Gunakan scanner di kamera kamu untuk memunculkan linknya.

Hatur nuhun. Rahayu sagung dumadi 🙏

download.png 29.49 KB

Selengkapnya
Sistem Tanda: Warisan Jiwa yang Kita Lupakan

Sistem Tanda: Warisan Jiwa yang Kita Lupakan


Di antara segala bentuk kemajuan dan kebanggaan sebuah bangsa, terdapat satu warisan yang kerap tak kasatmata, namun sesungguhnya paling dalam: sistem tanda. Ia bukan sekadar simbol, bukan pula ornamen yang menghias. Ia adalah bahasa jiwa. Sebuah struktur makna yang mampu menjangkau lintas generasi, menembus ruang dan waktu, serta menyampaikan pesan yang tak lekang oleh zaman.

Leluhur kita telah menciptakan sistem ini jauh sebelum kita mengenal teknologi modern. Kujang, keris, bende-ra, bahkan garis vertikal dan horizontal dalam bendera—semuanya bukan benda mati. Mereka adalah tanda hidup, yang memuat nilai, arah, dan kekuatan spiritual. Mereka adalah kitab sunyi yang ditulis dengan bentuk, warna, dan kehadiran—bukan dengan kata.

Namun kini, kita berada di titik di mana kesunyian tanda itu makin menggema. Kujang menjadi gantungan kunci. Keris dibingkai tanpa doa. Bendera hanya dikibarkan saat upacara, lalu dilipat tanpa rasa. Kita menyentuh warisan itu, tapi tidak lagi menyentuh maknanya. Kita melihat bentuknya, tapi kehilangan kedalamannya. Yang tertinggal hanyalah cangkang—tanpa ruh, tanpa getar jiwa.


Apa yang sebenarnya telah kita lupakan?

Leluhur kita tak hanya meninggalkan warisan budaya. Mereka meninggalkan sistem kesadaran. Mereka menyadari bahwa zaman akan terus berubah, bahwa manusia bisa tersesat dalam kebisingan kemajuan. Maka mereka menanam tanda-tanda. Sebagai penunjuk arah. Sebagai pengingat jati diri. Sebagai penyeimbang antara dunia luar dan dunia dalam.


Baca juga:
Kujang: Simbol Api, Simbol Jiwa, Simbol Negara
Merah Putih: Bukan Sekadar Warna tapi Simbol Kagungan
Jejak Agung Sunda: Sebuah Warisan Spiritualitas Leluhur
Bangkitnya Kesadaran Sejarah: Saatnya Kembali ke Jati Diri 


Sistem tanda ini bukan sekadar komunikasi visual. Ia adalah jembatan antara yang tampak dan yang tersembunyi. Ia menjaga keseimbangan antara lahir dan batin, antara logika dan rasa, antara manusia dan semesta. Dan yang lebih penting: ia menjaga bangsa ini agar tak kehilangan pusatnya.

Untuk membaca kembali warisan ini, tidak cukup hanya dengan kacamata ilmu modern. Kita perlu mendekat dengan hati. Leluhur kita menggunakan cara baca yang disebut Sapta Panta Tanda—tujuh lapisan makna yang mencakup:

  1. Sindir
  2. Sampir
  3. Sandi
  4. Silib
  5. Siloka
  6. Sasmita
  7. Sunyata

Tujuh lapisan ini menunjukkan betapa dalam dan cermatnya cara pandang mereka. Sebuah tanda tidak hanya dibaca dari bentuknya, tapi juga dari bayangannya, bisikannya, bahkan kekosongannya. Setiap lapisan membawa kita lebih dekat pada inti makna. Sebuah proses kontemplatif yang menyatukan jiwa manusia dengan semesta.

Bandingkan dengan pendekatan semiotika modern yang hanya mengenal empat jenis tanda. Betapa sederhana—betapa dangkal—jika kita hanya mengandalkan itu untuk memahami warisan sebesar ini. Tentu akan ada perbedaan tafsir. Tetapi justru di sanalah letak kekayaan pemahaman. Kita harus berani menengok ke dalam, melihat dengan cara pandang leluhur, yang penuh kebijaksanaan dan kesadaran tinggi.

Mungkin selama ini kita terlalu sibuk mengejar masa depan, hingga lupa bahwa masa depan kita sesungguhnya telah disiapkan oleh masa lalu. Dalam diam, leluhur kita telah mengantisipasi perubahan zaman. Mereka mewariskan bukan hanya benda, tapi sistem kesadaran. Maka tugas kita bukan hanya menjaga warisan itu secara fisik, tapi menghidupkannya kembali dalam kesadaran sehari-hari.

Sebab jika tanda-tanda itu kita abaikan, maka kita bukan hanya kehilangan budaya—kita kehilangan arah.
Dan ketika bangsa kehilangan arah, ia akan mudah dijajah kembali—bukan oleh bangsa lain, tapi oleh kehampaannya sendiri.

Lanjut membaca, masih seru bahasannya. Klik disini 


Apakah konten ini bermanfaat untuk pertumbuhan jiwamu? Berikan dukunganmu untuk Bumidega.   

Scan QR Code di bawah ini ya. Gunakan scanner di kamera kamu untuk memunculkan linknya.

Hatur nuhun. Rahayu sagung dumadi 🙏

download.png 29.49 KB

Selengkapnya
Merah Putih: Bukan Sekadar Warna tapi Simbol Keagungan

Merah Putih: Bukan Sekadar Warna tapi Simbol Keagungan


Ketika kita melihat bendera Merah Putih, yang berkibar di tiang tinggi pada setiap perayaan nasional, sering kali kita lupa bahwa warna itu bukan pilihan estetika semata. Di dalamnya, ada sejarah spiritual, pemahaman kosmis, dan perjanjian nenek moyang yang melampaui zaman.

Merah bukan sekadar darah, tapi cahaya. Merah adalah simbol api kehidupan, lambang keberanian, kekuatan, dan kemurnian niat. Merah adalah Salaka Domas—ajaran kuno yang membimbing bangsa untuk hidup dengan nurani, disiplin, dan kejujuran.

Putih adalah air. Ia bukan kebalikan dari merah, melainkan pelengkapnya. Putih melambangkan kesucian, keikhlasan, dan kearifan dalam bernegara. Ia adalah simbol Salaka Nagara, ajaran kenegaraan yang menjunjung tinggi musyawarah, keselarasan, dan ketertiban sosial.

Gabungan merah dan putih membentuk konsep “Cahaya Kembar”—dualisme yang saling menguatkan. Itulah sebabnya bendera kita disebut Bende-Ra, bukan sekadar flag. Bende berasal dari kata panji, Ra dari kata api kehidupan. Bendera kita bukan lambang perang, tapi lambang kehidupan. Ia adalah perwujudan ajaran spiritual yang hidup dan menghidupi.


Baca juga:
Sistem Tanda: Warisan Jiwa yang Kita Lupakan
Bangkitnya Kesadaran Sejarah: Saatnya Kembali ke Jati Diri 


Era Pajajaran Nagara: Puncak Kejayaan Peradaban Maritim

Zaman Pajajaran bukan hanya masa emas dalam sejarah Sunda, tapi juga saksi atas bersatunya darat dan laut, Kujang dan Keris. Di era ini, kerajaan-kerajaan maritim tidak hanya kuat dalam perdagangan, tapi juga dalam ajaran moral dan sistem pemerintahan.

Pajajaran Nagara adalah zaman ketika simbol Merah Putih mulai mengambil bentuk nyata sebagai bendera negara. Panji-panji kerajaan tak hanya dikibarkan dalam pertempuran, tapi juga dalam upacara spiritual yang sakral. Kujang dan Keris dibawa oleh para pemimpin sebagai tanda bahwa mereka memegang kekuatan langit dan bumi.

Di sinilah ajaran La-Hyang Salaka Domas dan Salaka Nagara menyatu dalam tata negara. Masyarakat hidup dalam harmoni antara spiritualitas dan logika pemerintahan. Pemimpin dianggap sebagai Ratu Adil, bukan hanya karena bijaksana, tapi karena ia mampu menjaga keseimbangan antara kekuatan Ra dan Naga.

Zaman Pajajaran bukan hanya tentang kejayaan fisik, tapi tentang kematangan peradaban. Kita tak hanya menguasai laut dan darat, tapi juga hati dan pikiran.


Simbolisme Garuda Wisnu: Kode Rahasia Keseimbangan Bangsa

Mari kita lihat simbol Garuda Wisnu yang menunggang naga. Gambar ini bukan sekadar lukisan mitologi Hindu, tapi representasi mendalam tentang kekuasaan yang ideal dalam filosofi Nusantara.

Garuda adalah lambang udara dan langit. Ia adalah penjaga ajaran, pemikul beban dharma (kebenaran). Wisnu adalah dewa pemelihara, simbol kasih sayang dan pengaturan semesta. Naga, di bawahnya, bukan musuh, tapi dasar kekuatan. Ia adalah dunia bawah, energi primal yang mendukung langit.

Ketika Prabhu Airlangga digambarkan menunggang Garuda yang bertumpu di atas naga, itu artinya: penguasa sejati adalah ia yang mampu menyatukan tiga alam—langit, bumi, dan dunia bawah. Ia bukan hanya pemimpin militer, tapi pemimpin spiritual, pemersatu peradaban.

Simbol ini bukan hanya milik masa lalu. Ia adalah pesan untuk pemimpin masa kini. Bahwa kekuasaan sejati bukan tentang dominasi, tapi tentang penyatuan dan harmoni. Inilah hakikat Banjaran Nagara, bangsa yang hidup dalam jalan tengah, dengan prinsip agung sebagai porosnya.


Baca juga:
Sistem Tanda: Warisan Jiwa yang Kita Lupakan
Bangkitnya Kesadaran Sejarah: Saatnya Kembali ke Jati Diri 


Dari Kerajaan ke Re-Publik: Ketika Ra-Hayat Mengambil Alih

Lalu tibalah masa yang penuh gejolak: Indonesia. Sebuah nama yang diusung dari luar namun kini telah menjadi identitas resmi kita bersama. Pada masa ini, kerajaan-kerajaan lama runtuh. Namun bukan hanya karena ditaklukkan oleh penjajah atau perang, tapi karena rakyat—Ra-Hayat—mengambil alih kendali.

Ini adalah titik balik. Bangsa ini tak lagi dipimpin oleh darah biru, tetapi oleh suara rakyat. Sebuah Re-Publik, artinya: milik umum, milik bersama. Apakah ini berarti kemunduran spiritual? Tidak. Ini justru panggilan bagi kita untuk menghidupkan kembali nilai-nilai agung yang pernah dijunjung tinggi oleh para raja dan resi dahulu.

Sayangnya, ketika simbol-simbol itu dipisahkan dari akarnya, maknanya menjadi kabur. Kujang hanya jadi koleksi museum. Keris hanya jadi hiasan. Padahal di baliknya, ada ajaran luhur yang menunggu untuk dihidupkan kembali.

Lanjut membaca, masih seru bahasannya. Klik disini


Apakah konten ini bermanfaat untuk pertumbuhan jiwamu? Berikan dukunganmu untuk Bumidega.   

Scan QR Code di bawah ini ya. Gunakan scanner di kamera kamu untuk memunculkan linknya.

Hatur nuhun. Rahayu sagung dumadi 🙏

download.png 29.49 KB

Selengkapnya
Kujang: Simbol Api, Simbol Jiwa, Simbol Negara

Kujang: Simbol Api, Simbol Jiwa, Simbol Negara


Ketika kita bicara tentang Kujang, kita tak sedang membicarakan sebilah senjata semata. Kujang adalah simbol, sama seperti Garuda Pancasila hari ini. Ia mewakili ideologi, keyakinan, dan jati diri bangsa. Kujang adalah lambang dari api—Ra, kekuatan hidup, energi ilahi yang membara dalam dada setiap manusia pegunungan. Ia adalah lambang maskulinitas spiritual, keteguhan, dan kearifan yang berpijak pada daratan tinggi.

Lalu datanglah era maritim, ketika bangsa ini merambah lautan. Maka muncullah Keris—senjata air, simbol dari Ibu Pertiwi, simbol dari dunia bawah dan kebijaksanaan feminin. Dari sinilah lahir konsep agung: Naga dan Ra, yang jika disatukan membentuk kata Nagara atau Negara. Naga dan Ra bukan sekadar makhluk mitologis atau simbol, tapi representasi dari harmoni semesta—air dan api, ibu dan ayah, bumi dan langit.


Zaman Dirganta-Ra hingga Indonesia: Evolusi Simbolik Sebuah Peradaban

Mari kita renungi setiap fase sejarah bangsa ini, yang tak hanya tercatat dalam prasasti dan lontar, tapi juga dalam struktur simbolik yang mendalam:

  1. Dirganta-Ra
    Pada masa ini, Kujang bukan sekadar senjata, tapi dijunjung sebagai simbol Batara Durga—api pemberi kehidupan. Ia bukan membakar untuk menghancurkan, melainkan untuk menerangi dan menghangatkan.
  2. Swarganta-Ra
    Kujang menjadi representasi Sang Hyang Manon, sang Matahari. Ia adalah cahaya yang memancar dari kesadaran diri, membimbing bangsa menuju kemuliaan dan kemerdekaan sejati.
  3. Dwipanta-Ra
    Masa di mana konsep cahaya kembar—Merah dan Putih—lahir. Kujang menjadi lambang Salaka Domas, ajaran api dan kebijaksanaan. Sedangkan Keris menjadi lambang Salaka Nagara, ajaran air dan kenegaraan. Inilah titik lahirnya vertikal dan horizontal dalam bendera kita: Merah sebagai api, putih sebagai air.
  4. Banjaran Nagara
    Pada zaman Airlangga (sekitar tahun 1000 M), ia digambarkan menunggang Garuda Wisnu yang berdiri di atas Naga. Simbol ini menggambarkan penguasa yang mempersatukan kekuatan spiritual (Garuda/Wisnu) dan kekuatan alam bawah (Naga).
  5. Nusantara
    Pada masa ini, bendera Merah Putih mulai dikenal sebagai panji cahaya: Bende-Ra. Kujang mulai bergeser dari pusat simbolik dan Keris mengambil peran sebagai lambang negara maritim. Kita menyebut era ini sebagai Pajajaran Nagara—puncak kejayaan negara berbasis laut.
  6. Indonesia
    Datangnya konsep Re-publik adalah titik perubahan besar. Kerajaan runtuh, kekuasaan berpindah ke tangan Ra-hayat, rakyat. Namun apakah benar rakyat merampasnya, atau justru merebut kembali warisan mereka yang dirampas?


Baca juga:
Jejak Agung Sunda: Sebuah Warisan Spiritualitas Leluhur
Merah Putih: Bukan Sekadar Warna tapi Simbol Kagungan
Sistem Tanda: Warisan Jiwa yang Kita Lupakan
Bangkitnya Kesadaran Sejarah: Saatnya Kembali ke Jati Diri 


Makna Simbol dan Identitas: Kujang, Keris dan Bendera

Mari kita renungkan kembali:

  • Kujang = Batara Durga = Dewa Api = Negara Matahari = Salaka Domas = Merah = Horisontal
  • Keris = Dewa Air = Negara Maritim = Salaka Nagara = Putih = Vertikal

Dari sini kita paham, bendera kita—Bende-Ra—bukan sekadar "flag" dalam arti Inggris. Ia adalah penanda spiritual dan ideologis yang menyatukan ajaran langit dan bumi. Ia adalah doa yang berkibar. Ia adalah simbol dari sistem tanda agung yang telah diciptakan oleh leluhur kita ribuan tahun silam.

Dan sungguh, ukuran keagungan suatu bangsa tak diukur dari tinggi menara atau luas wilayahnya, tapi dari kemampuannya menciptakan sistem makna, simbol, dan komunikasi yang tak lekang oleh zaman.


Kujang dan Keris: Dua Simbol, Satu Jiwa Bangsa

Ada yang unik dalam peradaban kita: dua simbol sakral yang menjadi penanda dua kekuatan besar—daratan dan lautan, maskulin dan feminin, api dan air. Kujang dan Keris bukanlah sekadar artefak arkeologis. Keduanya adalah penjaga nilai, pelindung ajaran, dan pewarta pesan-pesan langit kepada manusia.

Kujang, dengan lengkung tajamnya yang unik, bukanlah hasil cipta tukang pandai besi semata, tetapi jelmaan filosofi kehidupan yang membentuk masyarakat pegunungan. Ia adalah api yang menyala dari dalam jiwa. Api yang tak hanya membakar, tetapi juga menyinari jalan. Kujang adalah ajaran keteguhan, keberanian, dan prinsip yang tak bisa digoyahkan.

Sedangkan Keris, lahir dari dunia perairan—kerajaan-kerajaan maritim yang mengalirkan kebijaksanaan dalam senyap. Keris bukan hanya senjata, tetapi juga spiritualitas. Ia adalah penenang badai, penjaga keselarasan. Garis-garis lekukannya bukan sembarang ukiran, melainkan guratan waktu, doa-doa panjang para empu, dan permohonan akan keseimbangan hidup.

Dua simbol ini tidak saling meniadakan. Mereka justru saling melengkapi. Kujang sebagai Ra, Keris sebagai Naga. Kujang adalah arah ke dalam—introspeksi, kekuatan batin. Keris adalah arah ke luar—hubungan sosial, diplomasi, dan kebijakan negara. Jika disatukan, keduanya membentuk kata sakral: NAGARA, tempat bernaungnya jiwa bangsa.

Lanjut membaca, masih seru bahasannya. Klik disini


Apakah konten ini bermanfaat untuk pertumbuhan jiwamu? Berikan dukunganmu untuk Bumidega. 

Scan QR Code di bawah ini ya. Gunakan scanner di kamera kamu untuk memunculkan linknya.

Hatur nuhun. Rahayu sagung dumadi 🙏

download.png 29.49 KB


Selengkapnya
#Acara

Acara Mendatang

Lihat Semua
offline 21-Jun-2025

🌿 TITIK NOL

Kamu merasa jenuh, tersesat, atau seperti menjalani hidup yang bukan milikmu? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, banyak dari kita yang terjebak dalam pola, luka lama, dan tuntutan luar. Titik Nol adalah ruang aman untuk berhenti sejenak—untuk melihat ke dalam, melepas beban, dan menyusun ulang arah hidup yang lebih selaras dengan diri sejati.
Learn More
#Produk

Produk Unggulan Kami

Lihat Semua