Berdiri tahun 2012, Bumi Dega Sunda Academy menjadi ruang ajar dalam memperjuangkan nilai kearifan lokal yang memuat ajaran kemanusiaan, kenegaraan dan kebumian dengan dijiwai oleh kedalaman spiritual dan semangat kebangsaan.
Bumi Dega Sunda Academy hadir sebagai ruang pembelajaran yang mengangkat dan memperjuangkan nilai-nilai kearifan lokal. Kami membawa ajaran tentang kemanusiaan, kebangsaan, dan kebumian, yang dipadukan dengan kedalaman spiritual serta semangat untuk memperkuat jati diri bangsa. Melalui pendekatan pendidikan dan pelatihan yang relevan, kami berkomitmen membangun manusia yang utuh—berakar pada budaya, berpijak pada bumi, dan terbuka pada perkembangan zaman.
Tiga Pilar Dharma Kami
Menumbuhkan dan memperkokoh kesadaran akan nilai kebangsaan dan kenegaraan, demi persatuan yang kokoh dan berdaulat.
Berkarya dan berdaya untuk memberikan manfaat nyata bagi masyarakat luas, melalui aksi dan kontribusi yang membumi.
Menghadirkan program-program yang berdampak positif bagi seluruh makhluk hidup, sejalan dengan nilai kehidupan yang selaras dan harmonis.
Sejak didirikan, Bumi Dega Sunda Academy berkomitmen membangun ruang kolaboratif yang dilandasi nilai-nilai kemanusiaan, kebangsaan, dan kebumian. Melalui berbagai program, kami menjalin persaudaraan lintas latar, mengembangkan ilmu pengetahuan yang selaras dengan kearifan lokal, melestarikan budaya dan tradisi sebagai jati diri bangsa, memperkuat nilai kebangsaan dan kenegaraan, serta merawat alam sebagai sumber kehidupan yang harus dijaga bersama.
Bumi Dega Sunda Academy menghadirkan program-program edukatif yang membuka ruang eksplorasi dan pengembangan ilmu pengetahuan secara holistik. Dengan pendekatan yang kontekstual dan inovatif, peserta diajak untuk memperluas wawasan serta memperdalam pemahaman mereka terhadap beragam disiplin ilmu yang berpijak pada nilai-nilai lokal dan relevansi global.
Sebagai bagian dari upaya merawat jati diri bangsa, Bumi Dega Sunda Academy berkomitmen untuk melestarikan serta menghidupkan kembali kekayaan budaya dan tradisi Nusantara. Melalui berbagai kegiatan inspiratif, peserta diajak menjelajahi makna, keindahan, dan kearifan budaya Sunda, sekaligus memperkaya pemahaman terhadap keberagaman budaya Indonesia secara menyeluruh.
Dalam upaya menggali nilai-nilai kearifan lokal, aspek spiritual menjadi elemen penting dalam setiap program kami. Bumi Dega Sunda Academy menghadirkan pengalaman pembelajaran yang mendalam untuk membantu peserta mengembangkan kesadaran diri, memperkuat koneksi batin dengan alam dan sesama, serta menumbuhkan kedamaian melalui perjalanan spiritual yang autentik dan membumi.
Uga Wangsit Siliwangi
Catatan dari Sarasehan Kebangsaan – Seren Taun Cigugur 2025
Pada 22 Rayagung 1998 Saka Sunda / 17 Juni 2025, Sarasehan Kebangsaan digelar sebagai bagian dari rangkaian Upacara Adat Seren Taun Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Acara ini menjadi ruang teduh tempat nilai-nilai karuhun dikisahkan kembali—bukan hanya sebagai warisan, tetapi sebagai arah hidup yang tetap relevan di zaman ini.
Kami hadir sebagai tamu undangan dalam Upacara Adat Seren Taun, serta turut berkontribusi dalam Sarasehan Kebangsaan. Kehadiran kami sebagai pengisi acara merupakan bentuk kepercayaan dari Paseban Tri Panca Tunggal yang mengundang Abah Uci (Lucky Hendrawan) sebagai narasumber mewakili Bumi Dega Sunda Academy.
Seren Taun bukan sekadar upacara panen tahunan. Dalam pandangan Rama Djatikusumah, upacara ini adalah ungkapan syukur dan doa kepada alam,namun juga lebih dari itu: sebuah cara menjaga warisan luhur leluhur dan memperkuat akar budaya bangsa melalui jalan kearifan lokal. Ia menjadi ruang pengingat bahwa hidup tidak berjalan sendiri, kita terhubung dengan tanah, waktu, dan nilai yang diwariskan dengan penuh kasih oleh karuhun.
Dalam suasana khidmat, Abah Uci menyampaikan kembali pesan mendalam yang pernah disampaikan oleh Rama Djatikusumah semasa hidup:
“Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.”
Petuah ini bukan hanya untuk direnungkan, tetapi untuk dihayati dalam keseharian. Karena mengenal diri adalah pintu awal dari perjalanan hidup yang lebih sadar dan terhubung dengan Sang Sumber. Pesan ini menjadi pengingat penting di tengah arus globalisasi dan krisis identitas. Bahwa bangsa ini sesungguhnya kaya. Yang perlu dilakukan adalah: menggali, merawat, dan meyakini nilai-nilai itu sendiri.
Sarasehan ini bukan sekadar wacana. Ia adalah penanda arah—agar bangsa ini tak lupa:
Bumidega merasa terhormat menjadi bagian dari momen ini. Hadir tidak hanya untuk menyimak, tetapi juga turut menyuarakan kembali nilai-nilai yang patut diwariskan. Bagi kami, ini bukan hanya liputan, tetapi bentuk tanggung jawab: menjaga, menulis ulang, dan menyebarkan kembali getar nilai luhur yang hidup di tanah ini —untuk generasi yang ingin tumbuh tanpa tercerabut dari akarnya.
Apakah konten ini bermanfaat untuk pertumbuhan jiwamu? Berikan dukunganmu untuk Bumidega.
Scan QR Code di bawah ini ya. Gunakan scanner di kamera kamu untuk memunculkan linknya.
Hatur nuhun. Rahayu sagung dumadi 🙏
Sawala Saniscara, 07 Juni 2025
Indonesia dikenal sebagai zamrud khatulistiwa—negeri kepulauan yang membentang luas dari Sabang hingga Merauke, dianugerahi kekayaan hayati yang luar biasa. Dari hutan tropis yang lebat, pegunungan yang agung, hingga lautan yang menjadi rumah bagi ribuan spesies laut, negeri ini sejatinya adalah surga dunia yang sesungguhnya. Di tengah keindahan itu, tersembunyi tanggung jawab besar: menjaga keselarasan antara manusia, alam, dan kekuatan ilahi.
Di ujung timur Indonesia, tersembunyi sebuah keajaiban dunia yang dijuluki surga bawah laut: Raja Ampat. Gugusan pulau ini bukan hanya tempat menyimpan keindahan karang dan biota laut, tetapi juga cermin dari keseimbangan alam yang nyaris sempurna. Namun, di balik keindahan itu, ancaman kerusakan ekologis perlahan mengintai. Aktivitas manusia yang tak terkendali, eksploitasi alam, dan pembangunan yang tidak berpihak pada keberlanjutan menjadi luka-luka kecil yang perlahan menganga.
Luka alam seperti yang terjadi di Raja Ampat menjadi panggilan bagi kita semua untuk merenung lebih dalam: apakah kita masih memahami hakikat hidup sebagai manusia yang tinggal di bumi ini? Apakah kita telah menjaga keseimbangan, atau justru menjadi penyebab utama kerusakan?
Abah Uci mengingatkan, "Bumi sebagai ibu, lalu tumbuh-tumbuhan ini sebagai sumber yang diberikan oleh ibu untuk kehidupan, dan kita sebagai pendatang yang entah berasal dari antah berantah. Dalam Ajar Pikukuh Sunda sudah jelas disebutkan 'nu miboga di buana nyaeta satwa lan tumuwuh, manusa sakur ngumbara' — pemilik bumi adalah satwa dan tumbuhan, manusia hanyalah pengembara."
Pengingat ini seolah menampar kesadaran kita yang selama ini menempatkan diri sebagai penguasa semesta. Padahal, hakikat kita hanyalah menumpang hidup, menyerap kehidupan dari alam yang lebih dulu hadir, dan semestinya menjaga serta menghormatinya. Bila kita terus menerus merusak, lalu kepada siapa kita akan kembali ketika bumi tak lagi mampu memberi?
Dalam kearifan lokal Sunda, terdapat sebuah konsep kuno namun sangat relevan untuk menjawab kegelisahan ini: Tri Tangtu di Buana. Sebuah nilai yang menata relasi manusia tidak hanya secara sosial dan spiritual, tetapi juga ekologis. Tri Tangtu di Buana menempatkan manusia sebagai bagian dari tatanan semesta, bukan penguasanya. Dan inilah akar dari harmoni sejati.
Siapa Aku di Balik Pikiran dan Rasa?
Sudahkah Kita Menjadi Manusia?
Sesajen: Warisan Leluhur yang Terlupakan
Tri Tangtu di Buana secara harfiah berarti "tiga ketentuan di dunia". Konsep ini merupakan bagian dari Ajar Pikukuh Sunda yang telah diwariskan secara turun-temurun. Ia mengajarkan bahwa keseimbangan hidup manusia sangat bergantung pada tiga jenis hubungan utama:
Ketiganya tidak dapat dipisahkan. Jika satu hubungan rusak, maka dua lainnya akan terganggu. Ketika manusia merusak alam, ia juga sedang merusak relasinya dengan sesama dan melemahkan kesadaran spiritualnya.
Kerusakan yang mulai tampak di Raja Ampat dapat kita lihat sebagai alarm keras dari semesta. Sebuah peringatan bahwa keseimbangan Tri Tangtu di Buana telah goyah. Perusakan ekosistem laut, pembalakan liar, dan pencemaran laut tidak hanya merusak alam secara fisik, tetapi juga merusak tatanan spiritual dan sosial masyarakat setempat.
Masyarakat adat di Papua yang selama ini hidup selaras dengan alam, mulai terpinggirkan oleh pembangunan yang tidak partisipatif. Ketika tanah leluhur dirusak, bukan hanya ekologi yang hancur, tetapi juga identitas budaya dan spiritual mereka.
Raja Ampat hanyalah satu dari banyak contoh yang menunjukkan bahwa ketika satu simpul dalam Tri Tangtu di Buana terputus, kehidupan menjadi timpang. Ketimpangan ini berdampak bukan hanya pada satu wilayah, tetapi pada masa depan generasi seluruh bangsa.
Di tengah derasnya arus modernisasi, nilai-nilai lokal seperti Tri Tangtu di Buana sering kali dianggap usang. Padahal justru nilai inilah yang dapat menjadi kompas moral dan spiritual dalam menghadapi krisis multidimensi: krisis lingkungan, sosial, dan identitas.
Menghidupkan kembali Tri Tangtu bukan berarti kembali ke masa lalu. Ini soal membangun kesadaran baru yang lebih utuh—bahwa teknologi, ilmu pengetahuan, dan pembangunan harus berjalan berdampingan dengan nilai-nilai kearifan lokal dan spiritualitas hidup.
Dalam konteks ini, pendidikan menjadi sangat penting. Generasi muda perlu diperkenalkan pada nilai-nilai ekologis yang berakar dari budaya. Bukan sekadar pengetahuan kognitif, tetapi kesadaran yang hadir dari hati dan laku hidup.
Ada pepatah bijak yang menyatakan: Bumi bukanlah warisan dari nenek moyang, melainkan titipan untuk anak cucu. Dalam konteks Tri Tangtu di Buana, bumi adalah ibu yang harus dijaga, bukan sumber kekayaan yang bisa dieksploitasi seenaknya.
Kita perlu kembali menghayati bahwa merawat bumi adalah bagian dari ibadah, dari laku spiritual. Ia bukan tugas para aktivis lingkungan saja, tetapi tugas setiap manusia yang ingin hidup selaras dalam semesta.
Sudah saatnya kita tidak hanya mengagumi keindahan alam seperti Raja Ampat dalam foto atau media sosial. Kita harus mulai bertanya: apa kontribusi kita dalam menjaga dan merawatnya?
Memahami dan mengamalkan Tri Tangtu di Buana bisa dimulai dari hal sederhana:
Tri Tangtu di Buana bukan hanya ajaran tua dari masa lalu. Ia adalah pelita dari masa depan. Sebuah jalan untuk kembali pulang ke kesejatian manusia: makhluk spiritual yang hidup dalam jaringan kehidupan yang utuh.
Ketika kita menjaga alam, sesungguhnya kita sedang menjaga diri kita sendiri. Ketika kita mencintai bumi, kita sedang menyelamatkan generasi yang akan datang. Raja Ampat telah memberi isyarat. Alam telah bersuara. Sekarang, giliran kita untuk mendengar dan bertindak.
Mari pulang. Pulang ke kesadaran. Pulang ke harmoni. Pulang ke Tri Tangtu di Buana.
Apakah konten ini bermanfaat untuk pertumbuhan jiwamu? Berikan dukunganmu untuk Bumidega.
Scan QR Code di bawah ini ya. Gunakan scanner di kamera kamu untuk memunculkan linknya.
Hatur nuhun. Rahayu sagung dumadi 🙏
Catatan Sawala Saniscara, 31 Mei 2025
Sabtu malam, 31 Mei 2025. Hujan turun deras membasahi kota Bandung. Langit kelabu menutup wajah bintang, dan genangan mulai muncul di beberapa ruas jalan kota. Suasana malam tampak murung dan penuh suara gemericik, seolah semesta sedang mengajak manusia untuk berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dunia.
Namun, di tengah riuh alam yang tak bersahabat itu, sebuah ruang justru terasa hangat dan tenang. Di Saung Ajar Bumi Dega Sunda Academy, cahaya temaram lampu dan harum kayu basah menyambut langkah-langkah yang datang dengan basah dan diam-diam. Suasana hening, namun penuh harap. Seperti biasa, Sawala Saniscara kembali hadir—sebuah forum mingguan untuk menyapa batin, menyirami kesadaran, dan menumbuhkan benih-benih refleksi di dalam diri.
Malam itu terasa berbeda. Ada getaran lain yang menyelimuti suasana. Mungkin karena cuaca, mungkin karena tema, atau mungkin karena pertanyaan yang sejak awal dilemparkan oleh Abah Uci:
"Apakah Pikiran Suatu Sosok atau Alat?"
Pertanyaan yang dilontarkannya pun melayang pelan di udara, seperti asap dupa yang menari ke langit-langit saung. Lembut dan sederhana terdengar, namun justru karena kesederhanaannya itulah, ia mampu menembus ruang-ruang batin yang selama ini nyaris tak pernah kita singgahi. Malam itu, bukan hanya tubuh yang hadir di saung. Kesadaran kita pun ikut duduk bersama. Pelan-pelan, kita diajak menyusuri lorong dalam diri—lorong yang sunyi, jujur, dan kadang terasa asing, tetapi justru di sanalah kita menemukan jejak pulang.
Dalam guaran-nya yang tenang, Abah Uci memaparkan bahwa pikiran adalah pendongeng ulung. Ia bisa sangat cerdas menciptakan cerita tentang masa depan yang belum tentu terjadi—penuh harapan, tetapi juga seringkali penuh kecemasan. Ketika kita tidak terpancing oleh imajinasinya, pikiran tak kehabisan akal: ia kembali ke masa lalu, memungut cerita-cerita lama, dan membumbuinya dengan rasa bersalah, sedih, atau marah.
Kita mudah terseret. Larut dalam cerita-cerita yang sejatinya hanya rekaan. Padahal, pikiran bukanlah diri kita yang sejati. Ia hanya alat. Tapi alat itu bisa menguasai tuannya bila kita tak sadar. Dari pikiran lahir rasa. Dari rasa, tubuh ikut menanggung. Maka muncullah gelisah, takut, cemas tanpa sebab yang jelas. Akhirnya, raga menjadi tempat bersemayamnya luka-luka yang tak berwujud. Semuanya berawal dari pikiran yang tak bisa kita kelola.
Maka, malam itu, muncul lagi pertanyaan yang mengguncang:
“Jika aku bukan pikiranku, siapa aku?
Jika aku bukan rasaku, siapa aku?
Jika aku bukan ragaku, siapa aku?”
Diam pun terasa panjang. Tidak semua pertanyaan butuh jawaban cepat. Beberapa pertanyaan justru hadir untuk mengendap ... perlahan, lalu menggugah. Sawala Saniscara memang bukan hanya forum bicara, tetapi juga ruang untuk mendengar kembali diri sendiri. Di tengah kehidupan yang bising dan terburu-buru, kita diajak untuk berhenti sejenak, menengok ke dalam, dan bertanya—apakah kita benar-benar mengenal siapa diri ini?
Mungkin selama ini kita berjalan sebagai manusia, tapi belum sungguh-sungguh menjadi manusia. Kita membiarkan diri dijajah oleh pikiran, terpenjara oleh rasa, dan terkekang oleh raga. Padahal, ada sesuatu yang lebih dalam, lebih tenang, lebih luas dari semua itu. Sebuah kesadaran yang tidak tergantung cerita masa lalu atau kekhawatiran akan masa depan.
Dan pada malam yang dingin dan basah itu, di dalam saung kecil yang hangat, kita semua—dengan caranya masing-masing—mulai pulang perlahan ke dalam diri.
Sampai jumpa di Sawala Saniscara pekan depan.
Sebelumnya, jangan lewatkan program terdekat kami:
🌑 Titik Nol — 21 Juni 2025
Sebuah ruang perjumpaan bagi siapa pun yang rindu pulang ke pusat dirinya.
Untuk menemukan keheningan yang menyadarkan,
Mengurai belenggu cerita dalam diri,
Dan bertanya dengan jujur:
Siapa aku, saat tak lagi diperbudak oleh pikiranku sendiri?
Mari hadir dan temukan jawabannya di Titik Nol.
Karena mungkin, di sanalah awal dari menjadi manusia seutuhnya.
Apakah konten ini bermanfaat untuk pertumbuhan jiwamu? Berikan dukunganmu untuk Bumidega.
Scan QR Code di bawah ini ya. Gunakan scanner di kamera kamu untuk memunculkan linknya.
Hatur nuhun. Rahayu sagung dumadi 🙏
Di tengah modernitas dan arus globalisasi yang kian deras, kita menghadapi risiko kehilangan jati diri. Generasi muda lebih mengenal mitologi asing dibanding sejarah leluhurnya sendiri. Nama-nama seperti Prabhu Sindhu La-Hyang, Dayang Sumbi, La-Hyang Salaka Domas terdengar asing, padahal merekalah pondasi budaya kita.
Namun zaman bergerak. Gelombang kesadaran perlahan bangkit. Sekelompok anak muda, peneliti, budayawan, dan pegiat sejarah kini mulai menggali kembali warisan leluhur. Mereka tak hanya mempelajari artefak, tapi juga menghidupkan kembali makna dan ajaran yang terkandung di dalamnya.
Gerakan ini bukan romantisme masa lalu. Ini adalah perjuangan spiritual. Sebab hanya dengan mengenal asal-usul, kita bisa menapaki masa depan dengan mantap. Bangsa tanpa sejarah adalah bangsa tanpa jiwa. Bangsa tanpa jiwa, adalah bangsa yang mudah dikuasai. Karena itu, kebangkitan sejarah bukan hanya penting, tapi genting.
Indonesia bukan hanya rentang geografis dari Sabang sampai Merauke. Indonesia adalah tubuh dari jiwa yang bernama Nusantara. Ia bukan dibentuk oleh batas peta, tapi oleh ikatan batin yang terbentuk ribuan tahun lamanya. Oleh ajaran, oleh sistem tanda, oleh makna yang diwariskan dari zaman Dirgantara, Swargantara, hingga Dwipantara.
Baca juga:
Kujang: Simbol Api, Simbol Jiwa, Simbol Negara
Merah Putih: Bukan Sekadar Warna tapi Simbol Kagungan
Sistem Tanda: Warisan Jiwa yang Kita Lupakan
Jejak Agung Sunda: Warisan Spiritualitas Leluhur
Negara yang sejati bukan yang sekadar berdiri secara administratif, tapi yang hidup dalam jiwa rakyatnya. Negara yang mampu membangkitkan semangat, menjaga martabat, dan menyatukan kehendak dalam satu visi luhur. Dan itu hanya bisa terjadi jika kita kembali menyatu dengan akar sejarah kita.
Saat Kujang dan Keris tak lagi saling melengkapi, saat Merah dan Putih tak lagi dimaknai secara spiritual, maka negara hanya akan menjadi formalitas kosong. Tapi jika makna itu dihidupkan kembali, maka Indonesia akan menjadi cahaya yang tak sekadar bersinar, tapi juga menghangatkan dunia.
Pertanyaan terbesar yang harus kita renungkan bersama adalah: apa warisan yang akan kita tinggalkan untuk anak cucu kita? Apakah hanya gedung pencakar langit? Apakah hanya teknologi dan kenyamanan material? Ataukah kita akan mewariskan sesuatu yang lebih luhur: kesadaran, makna, dan nilai-nilai spiritual yang telah menjadi ruh bangsa ini selama ribuan tahun?
Kujang dan Keris bukan sekadar benda pusaka. Mereka adalah mantra hidup, yang hanya akan bekerja jika kita memahami dan menjalankannya. Maka tugas kita sekarang adalah menanamkan kembali kesadaran ini di hati generasi berikutnya. Tidak perlu menunggu negara, cukup mulai dari keluarga, dari lingkungan, dari diri sendiri.
Ajak anak-anak mengenal sejarah dengan cara yang membangkitkan rasa bangga, bukan trauma. Tunjukkan bahwa kita berasal dari peradaban besar, yang jauh lebih tua dan lebih luhur dari yang selama ini kita pelajari di buku teks. Dan bahwa kita punya warisan tak ternilai—jiwa bangsa, yang tak akan lekang oleh waktu.
Lanjut membaca, masih seru bahasannya. Klik disini
Apakah konten ini bermanfaat untuk pertumbuhan jiwamu? Berikan dukunganmu untuk Bumidega.
Scan QR Code di bawah ini ya. Gunakan scanner di kamera kamu untuk memunculkan linknya.
Hatur nuhun. Rahayu sagung dumadi 🙏